Rabu, 24 Juni 2009

Menyentuh Nilai, Nurani Peradilan

Menyentuh Nilai, Nurani Peradilan
Oleh : Gusman Mangero


Challenge : Tantangan, mungkinkah itu kata yang tepat, bila rana nurani peradilan kita sentuh?. Karena tantangan kalian yang terbesar adalah mengalahkan ego pribadi yang telah mengakar di dalam jiwa, yang gemar dengan korup, licik, ambisius, rakus, dan buncit.

Tak seorang pun mengenal nurani mereka, tapi sebagai kawan se profesi dalam alam kelabu, mereka saling mengenal, mereka bagaikan puncak gunung yang hijau, kian subur karena suap, bagai benih yang di semai di semak belukar yang berduri.

Gulungan benang hitam dam putih, terurai mengikat beban kejujuran di persimpangan keadilan yang tidak berdaya. Geram keinginan menelanjangi inti kehidupan tidak terbendung oleh yang bertelanjang dada, buih-buih putih itu timbul oleh kejujuran, buih-buih hitam itu timbul oleh tipu daya,

Palu diatas meja beralaskan kain hijau ditabuh oleh yang berjubah hitam berselendang putih bagai penunggu kastil tua, bergaung memecah keheningan sidang, tak pandang bulu, korban pun berjatuhan, tersungkur dan tak berdaya, tetesan air mata mengalir melewati bola mata yang redup, penuh tanya, berharap jawaban belas kasihan, audients berdiri sambil berkata itulah buah keadilan dari panggung sandiwara.

Nurani pun berkata bahwa, sebagaimana orang yang suci dan budiman tidak dapat membumbung tinggi melebihi yang paling luhur, yang bersemayam pada tiap orang diatara kalian, maka kebenaran itu adalah si lemah dari sisa konspirasi politik dan hukum, dan itu tak mungkin jatuh dari nurani yang paling licik.

Kebenaran dan keadilan kini tergantung pada seutas tali yang semakin menipis dimakan waktu, dan kalau tali itu putus, maka nadi-nadi ibu pertiwi akan terhempas kedalam jurang kekelaman yang abadi.

Kelicikan tak terbendung, kebenaran dan keadilan tinggal ditangisi, sorot mata penentu keadilan menebar pesona kemunafikan, menularkan borok-borok busuk merajam yang tak berperisai, karena miskin ilmu, merekapun dengan mudah dibodohi, sejarah suram terus dilukis diatas awan, disesalkan memang, karena adengan itu kian kronis di raga dan terus berulang.

Tapi ada kondisi lain, di mana hukum dan politik bergerak bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang ”masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.

Wahai Kaum bangsawan peradilan dan perompak kebenaran, jalan-jalan mu penuh sumpa serapa oleh mereka yang menjadi korbanmu, mulutmu penuh maduh, hatimu penuh racun.
Wahai Kaum penjaga keadilan, jiwamu tergadai oleh janji pada bangsamu, belajarlah memahami dan mengerti yang paling kecil maka engkau akan dipercayakan hal yang paling besar, berhentilah memekikan gertak sambalmu, untuk menakuti rakyat jelata, tapi renungkan dan banggalah dengan hikmat yang kalian miliki.
Wahai kaum penegak keadilan, ajarkanlah bagi kami arti keadilan dan kejujuran yang masih tersisah dari buku tua penanam pondasi sejarah.nusa dan bangsa.

Lihatlah, kalian dari golongan sosial yang terhormat, tidakah kalian tahu petualanganmu menjejalkan kemiskinan, membuat boca-boca kehilangan sosok seorang ayah yang disegani, seorang ibu kehilangan sejengkal tanah untuk menyambung hidup, menangis terseduh-seduh dibalut dengan baju yang usang hampir robek ditiup angin, terkadang diapun tak berhak memilih identitas mereka sendiri, mereka lahir apa adanya, bahkan ditakdirkan untuk tidak diberi sedikit pilihan, mereka tak pernah memintah remah-remah padi dari meja makanmu, tapi mereka dengan sadar membayar ongkos bagi negara dan bagi kalian penyambung lidah rakyat dan penimbang kejahatan dan kebenaran.

Dan ketika akhirnya engkau memutuskan untuk berlabuh menjadi neraca peradilan, pertimbangkanlah, apakah engkau budak tipu daya masa lalu, atau manusia bebas esok hari. (*)

Sang Dokter Yang Angkuh

Sang Dokter Yang Angkuh
Gusman P. Mangero

Potongan-potongan awan menghiasi lagit biru, mendung meliputi menjelang soreh, keresahan dan rasa cemas jelas terlihat dimata sang ibu, yang sehari-harinya merawat buah pernikahan bersama suami tercinta beberapa tahun lalu.
Tak terasa putri bungsu berkakak putra yang duduk dibangku sekolah dasar, cecenti terukur tubuhnya kian tinggi. Resa dan gelisah tersirat jelas mata sang ibu, putri yang dicintai mengidap penyakit yang tidak jelas asal usulnya, kata penduduk desa “itu luti air”, ilmu kesehatan menyebutnya infeksi kulit.
Dengan tidak banyak tanya, tegopoh-gopoh sang ibu mendekati tukang ojek, dia hendak membawa sibungsu ke pawang penyakit. uang di rogoh dari saku yang hampir bolong, yang hanya beberapa lembar yang kusut tersisah di saku, bergegas menaiki bus kota menuju emperan jalan sario wilayah kota Nyiur Melambai, dipinggir jalan disana tertacap papan nama sang dokter bergelar professor, papan nama itu bertuliskan gelar dan dan nama sang dokter dibawanya diampit dengan kalimat “jam kerja setiap hari kecuali hari libur mulai jam 18.00 sampai dengan 20.00.
Sang ibu dengan tangang gemetar mengambil sampu tangan yang terkoyak karena terlalu sering dicuci, mengeringkan peluh ditangan dan dahi. Dengan sopan sang ibu duduk kursi yang tersedia memanjakan tubuh setelah tenaga yang terkuras menggendong putri tercintah dari perjalan melelahkan. pembantu sang dokter menyapa, sambil menuliskan nomor antrian dibuku yang telah tersedia diatas bangku tua.
Terlihat wajah-wajah mungil dan lucu tersenyum merasakan peluk hangat sang bunda tercintah, memandang dengan sayu, menahan rasa sakit yang diderita. Ibu-ibu yang menggantri tak lupa bercerita tentang penyakit diderita oleh anaknya masing-masing. Tak terasa waktu berlalu, jam menunjukkan 19.30 tinggal beberapa 30 menit lagi tepat praktek sang dokter ditutup, tapi wajah sang dokter tak kunjung terlihat , rasa cemas meliputi wajah sang bunda, cerita dan celoteh pun dilanjutkan, tepat .20.00 malam, sang dokter pun datang dengan, penuh wibawah menyapa wajah-waja yang sudah lesu setelah sudah sekian lama menuggu pawang penyakit, anak-anak yang lugu menangis menahan rasa sakit ada juga yang sudah tertidur. Dengan tidak merasa bersalah sang dokter dengan gelarnya yang disandang tapi tidak bermoral, dia masih sepat tersenyum setelah satu sampai dua jam menelantarkan orang desa mencari rasa sehat mengobati buah hati yang mereka kasihi dan cintai.
sang dokter dengan teliti menganalisa penyakit berdasarkan keluhan orang tua pasien, tapi dia tak pernah telili memahami pentingnya waktu bagi penduduk desa. (*)

Rabu, 27 Mei 2009

Politisi dan Wanita dan Sindrom Demokrasi

Politisi Dan Wanita Dalam Sindrom Demokrasi

Oleh : Gusman Mangero

Adegan itu saya ingat sejak aku menginjak di kota Nyiur Melambai; senja itu, bibir tebal bergincu berdiri dipingir jalan, penuh warna merona, merenda malam mengandung hati nan luka, ketika lapar menghapus rasa malu, tatapan sinis beribu mata, menembus tulang, mengukur keyakinan arti sebuah kehidupan, kembang malam datang, merabah-rabah, yang bermahkotakan “bangsawan”. Terbuai dalam belaian tangan halus, binal kian mengggoda, meradang oleh nafsu jasmani, mereka lupa indentitas, mereka terbang dalam alam mimpi. Hayalan berlalu, mentari pagi datang menjemput siang, pangkuan gadis penggoda terlanjur menopang pengubar janji.

Dua insan yang memiliki persamaan moralitas, namun berbeda profesi, memakai cadar yang sama, bagai dua sisi mata uang, kadang harus rela dijejalkan, juga tanpa rasa malu kadang menjadi alat tukar, dan akhirnya adalah kepuasan raga

Kini, gadis penggoda bergambar rupiah, berdiri penuh gairah, setengah telanjang menari diatas permukaan karpet merah, dituliskan terjual, dilumat habis oleh benalu demokrasi. Ini bukan sekedar hayalan, bibir pun bukan sekedar bergabu, semua orang tau, teruai sudah sindrom demokrasi melahirkan politisi mudah yang tidak berbakat dan tak berduit, mengantri dengan sabar dipelataran wasit demokrasi, mengambil jatah kelicikan dan kebohongan, menepis nurani yang rindu kebenaran.

Yang BENAR inginkan, bukan warni-warni kehidupan, bukan perang bendera disetiap sudut jalan, bukan juga seribu bahasa yang kamu ucapkan, juga bukan semangat dalam dadamu, tapi Yang BENAR inginkan, sikap jujurmu yang tulus dari libuk hati yang paling dalam

Terjal ambisi tak terukur, zona sandiwara dalam kata sejarah demokrasi adalah foto kopi dari pengalaman yang telah tersimpan rapi. Semenjak terbenamnya dinasti orde baru, dan terbit Era Reformasi Indonesia, dimulai pada pertengahan 1998, pemerintahan Soeharto terjungkal, yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai pemilik dinasti yang berumur 32 tahun.

hati legah, nurani menari, genderang kemenangan ditabuh, panggung sandiwara menunggu, tak ada yang tahu, tak seoarangpun dapat menebak, dimana nahkoda akan melabuhkan perahu damai ibu pertiwi

Kini, era yang kelabu membayangi, tersirat jelas mekarnya asumsi ketidakpercayaan politik, terhadap kematangan demokrasi rakyat jelata, dalam melaksanakan demonstrasi demokrasi pada tahun-tahun yang telah lalu, bahkan ribuan korban anak bangsa gugur dalam revolusi demokrasi, mereka dijuluki sebagai fondasi reformasi menuju Indonesia baru, bagi bibir manis dan lidah berbisa, hanya mereka anggap statistik membisu.

Lukisan mereka yang tersohor, menghias dinding kota, menambah monopoli kekerasan sosial dan budaya

Penganut garis pemikiran pesimisme atau nihilisme merenung, demokrasi yang manakah yang hendak kita rayakan? Bukankah budaya mapalus, budaya kebersamaan yang selama ini menjadi mahakarya yang telah terlukis dimata dunia, nyaris terkikis oleh arus politik kotor, dan hampir ditinggalkan pemilik lahan?, dan bukankah sejarah mencatat, kesenjangan sosial dan kimiskan kian membumbung tinggi sampai pada ambang batas kesabaran? Sungguh catatan sejarah yang memilukan.

Tidakah kita tahu, ada yang lebih penting ke timbang pesta demokrasi, yakni keutuhan sebuah cita-cita moralitas yang layak

Lalu, alasan yang manakah yang hendak diwacanakan lagi? Nilai tawar mana pula yang ingin kalian jual ? Terlanjur sudah pesta demokrasi itu terjadi, baginya, demokrasi adalah soal transaksi, dan birahi, tapi lain bagi sang juri demokrasi!.

Nalar mereka terbatas, pengalaman mereka nihil, bibir mereka penuh sumpah serapah, mereka sering kabur merekam sejarah, patutkah mereka ditertawai?, mungkinkah dia yang tersohor hanya menjadi interior teater politik ?..

Sang Pangeran Yang Datang dan Pergi

Sang Pangeran Yang Datang dan Pergi

Oleh : Gusman Mangero

November kelabu. Nostalgia yang dulu indah kini jadi ternoda. Sang pangeran dijemput mempelai pengadil, neraca si tuan benar tertancap indah di jantung teradil. Memang harus demikian, hukum memerlukan hakim, dan hakim memerlukan korban. Tak ada canda, tak ada tawa, terbias senyum mungil, dibalut mendung kelabu. Ada yang berkata dia telah tertangkap basah! Ada juga yang berkata mereka keliru! Sahabat karib dan keluarga terdiam, menonton dari balik jendela.

Bagai kisah lembah cinta penuh intrik, penuh kenangan memilukan, mengharukan, mengundang banyak tanya, ada yang tertawa. Namun ada pula yang menangis. Sebuah drama kehidupan tercatat sudah, pada untaian kata dibingkai warna, meredam identitas sosial, mengandung luka dan kini retak. Maestro bunga tulip terperangkap jerat halus kelindan sutera, sang “srikandi”.

Dari dusun yang kecil, wajah yang kusut, berkumis tapi tak berjenggot, ia menggapai mimpi, melejit bagai anak panah, melompat masuk, dalam sejarah cerita rakyat, meski kerikil tajam dituai, tubuh yang subur kini menjadi dewasa, titipan nasihat ditinggalkan sang bunda tercinta, berwujud impian membangun ibu pertiwi.

Membangun harmoni menuai sukses, puing-puing kekerasan itu terdiam indah, terpandang cantik mempesona, bagai biola sang penakluk. Wajah Kota Manado kini berubah drastis, dipoles pemilik palu, bila dinalar dengan logika.

Tapi, anak panah yang dilepaskan sang pangeran, terlalu berwarna-warni, melebur dalam khayalan, bahkan tak bisa mati dan tak luput dari rumusan kata dan pikiran, momen itu adalah isyarat keniscayaan dari sebuah kata “pembangunan” yang kini telah disulap menjadi sebuah konsep.

Terdengar kini dongeng itu bercerita, tentang anak manusia; Pencari nafkah memberontak tapi tak berdaya, bahkan ada yang menentang dengan belati tapi sang pangeran tidak bergeming, tergusur kini tempat berteduh, mereka berdalih, tapi tidak dimengerti oleh kaum pinggiran.

Di gang sebelah, anak kecil telanjang dada, menari meliuk-liuk , bersama lagu kampungan di emperan jalan pusat kota, tak peduli gelinya hidung, dipenuhi liur berlendir, mengais nasi dari yang kaya tertawa berpesta pora.

Lagu lama berdesir bagai air nan merdu, penadah tangan terus bergoyang di pinggir trotoar, lalat siang mengintari, mentari membakar kulit hitam bagai arang. Pentungan bertalu-talu, derap sepatu pasukan warna coklat kian menghimpit, serupa prajurit melangkah berganti-ganti, tapi penadah tangan terlampau tua untuk berontak.

Di persimpangan jalan itu, di bawah pohon akasia yang rindang, bisingan teropong asap memecah keheningan, penakluk siang di bawah awan, menapak hari menyambung nyawa. sejenak terlihat, berjejer gambar calon pangeran perayu, terucap janji, penuh madu dan racun.

Ketika ambisi menusuk, ke segala pojok hidup dan lubuk jiwa, dan ketika para ahli kata, merasa diri jadi penyambung lidah, tapi janji manis itu terlanjur usang, dimakan mentari, dan kini menjadi tanda luka sejarah yang dalam.

Poros sejarah menyentuh keadilan, meruntuhkan fondasi kelicikan, tapi akankah kita belajar taat dari apa yang telah digariskan? Lalu apakah, mereka sampah masyarakat? yang berdasi tapi tak berakal, berjiwa tapi tak bernyawa.

Jarak antara keadilan dan sikap yang tidak jujur, hanya terbentang beberapa senti. Mungkinkah mereka mencintai dusta dan membenci keadilan? Lalu siapakah sang pangeran berikut?

Begitulah akhir sebuah legenda karpet merah, ia rela kehilangan, ia menerima bila hatinya dilukai, ia ikhlas dalam derita karena pasrah kepada sang pengadil. Tapi setiap jengkal perbuatan, dan setiap tapak kaki yang ditinggalkan, kenanglah tragedinya, niscaya akan menjadi pelajaran yang sungguh berarti, dan kita lebih mengenal siapakah diri kita.(*)

Penerimaan CPNS Lokomotif Politik?

Penerimaan CPNS Lokomotif Politik?

Penulis: Gusman P. Mangero

Penerimaan pegawai negeri sipil telah diumumkan, disetiap kabupaten/kota, syarat-syarat untuk menjadi cpnspun masih mengunakan cara seperti tahun-tahun yang lalu. Hal yang paling penting adalah Skill (keahlian) menjadi syarat utama, namun sering kali tidak diperhatikan, padahal untuk menjadi seorang aparatur negara perlu adannya keahlian khusus sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki.

Belajar dari pengalaman yang selama ini kita saksikan setiap hari khususnya jam-jam kerja, kerapkali seorang pns atau yang disebut sebagai aparut negara hanyalah sebagai pegawai dh alias daftar hadir, datang kekantor hanya mengisi daftar hadir, selebihnya main kartu atau melakukan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, adalagi setelah diterima menjadi pns yang bersangkutan tidak tau kerja, karena nihil pengalaman atau tidak adanya kemampuan yang dimiliki.

Berbekal ijasah yang dimiliki namun tidak disertai dengan keahlian adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar jika penerimaan cpns pada setiap tahun tidak diubah pola rekrutmenya, pemerintah mestinya belajar dari lembaga-lembaga swasta disaat melakukan seleksi cpns. Diperusahaan swasta seorang calon tenaga kerja wajib memiliki pengalaman kerja (Job Reference) yang dapat dipertangungjawabkan, agar benar-benar mampu menempati posisi tertentu.

Standar penerimaan cpns yang hanya mengutakan gelar dan tidak disertai dengan pengalaman kerja sering terjadi setiap tahun, sayang kekeliruan ini selalu dilegalkan, padahal ini adalah sebuah kemunduran jika sebuah negara menganut paradigma good government, dan slogan ini sudah seyogianya merupakan isu sentral dalam rangka pembangunan bangsa dan negara.

Ataukah peneriman cpns merupakan lokomotif politik?, Atau untuk yang bergelar tapi tidak berkualitas?. Kita tunggu sajah hasilnya.(*)

Ketika Tak Bersepatu Menagih Janji

Ketika Tak Bersepatu Menagih Janji

Oleh : Gusman P. Mangero

Masyarakat mitra yang terhormat, tidak pernah terlintas di benak kita, sikap jujur masyarakat telah menjadi bagian dari rencana politik dari seorang aktor politik. Sejenak kita terkesima dengan bingkisan-bingkisan yang dibalut oleh kata pembangunan, yang seyogianya adalah fatamorgana, terlihat seperti nyata tapi ternyata itu hanyalah mimpi belaka.

Tergulir sudah aspirasi masyarakat dalam sebuah pesta demokrasi, sang aktor dengan bersilat lidah membisikan kata-kata manis diteliga rakyat jelata, para pendonor musiman datang, masyarakatpun kian terbuai, kaum tak bersepatu terlampau silau olehnya.

Kesenjangan sosial kian membumbung tinggi, mereka yang berpenah menekan tombol menyalakan perapian, sementara mereka yang dikepung oleh debu, pahit terasa nikmat.

Ganasnya lidah yang tidak bertulang, bagai danau dijalan, ditinggalkan oleh pengerak uang rakyat, yang tergali oleh hujan tapi terasa empuk bagi penggendong bakul, meski langkah menghasilkan luka yang menganga, dirajam batu tajam yang berserakan.

Coretan kertas bertebaran, setiap hari jatuh ditangan penguasa, diambil dari hasil langkah yang tidak terhitung, Sapuan penah nan indah, mereka bahkan tak pernah bedalih oleh nilai rupiah, tentu bukan karena mereka luar biasa pemberani, tapi karena apa yang tampak dalam benak mereka, adalah kebebasan kaum papah menikmati hidup, agar nurani rakyat dimengeri oleh pemilik singgasana.

Tidak terlintaskah disanubari oleh kaum yang berdasi, bersanding bersama mereka yang tidak punya apa-apa, bibir mereka hanya bisa tesenyum, dibasahi dengan air mata rakyat jelata, menikmati mahkota yang dimenangkan oleh keringat rakyat.

Berapa besar lagi nilai-nilai yang ditawarkan, agar bisa diterima dengan martabat yang utuh oleh pihak yang tertindas?


Perjalan demokrasi adalah seonggok beban, beban yang terberat adalah keniscayaan kompromi, bahkan dengan dengan kondisi suram sekalipun. (*)